Solidaritas Sosial Memutus Rantai Covid-19
Seperti kita ketahui, hingga saat ini berdasarkan data John Hopkins University and Medicine (11 April 2020) yang sudah terkonfismasi positif Covid-19 lebih dari 2 juta orang, lebih dari 134 ribu orang meninggal, dan tersebar di 185 negara. Di Indonesia sendiri per hari ini terkonfirmasi 5136 orang positif, 469 orang meninggal, sedangkan yang sembuh 446 orang. Dari hari ke hari menunjukkan peningkatan dan belum sampai puncaknya di mana diperkirakan akan meningkat tajam. Prediksi puncak penyebaran Covid-19 berbeda-beda. Badan Intelijen Negara (BIN) memperkirakan puncak persebaran terjadi pada Juli 2020, menurut ITB pada akhir Mei atau awal Juni 2020, FKM UI pertengahan april 2020, dan iluwan matematikan Universitas Sebelas Maret Sutanto Sastraredja meprediksi memuncak pada bulan Mei 2020 (kompas.com, 3 April 2020).
Perbedaan prediksi tersebut mengindikasikan puncak penyebarannya bisa lebih cepat sekaligus lebih lambat. Perbedaan prediksi puncak penyebaran bisa dijadikan dasar untuk melakukan langkah-langkah strategis dalam mengantisipasinya. Walaupaun berbeda-beda, tetapi penekanannya sama yaitu jika langkah antisipasinya tepat maka prediksi puncaknya lebih cepat dan berakhirnya juga cepat. Tentu saja ini menjadi dilema karena tenaga medis kita terbatas, rumah sakit tempat menampung pasien juga terbatas, dan kebiasaan warga yang suka guyub berkumpul apalagi menjelang musim mudik turut mengancam. Kondisi ini sangat memperihatinkan dan bisa saja prediksi meleset jauh dan angka yang positif melebihi data resmi.
Di situasi seperti itu, apakah kita mampu mengatasinya? apa yang perlu kita lakukan di tengah keterbatasan sumber daya pendukung?
Kita harus tetap optimis dan belajar dari negara lain yang terlebih dahulu mengalaminya, paling tidak dari kasus Italia, negara dengan kasus Covid-19 cukup tinggi salah satunya disebabkan oleh warga, tokoh dan pejabat Italia meremehkan pandemi Covid-19 (m.cnnindonesia.com, 24 maret 2020). Wabah Covid-19 pada dasarnya adalah bidang kesehatan, tetapi peran paling penting untuk memutuskannya bukan di tangan tim medis, akan tetapi pada masyarakat itu sendiri. Kunci penyebaran Covid-19 adalah intensitas interaksi sosial fisik, solusi utamanya adalah membatasi bahkan meniadakan interaksi sosial fisik, untuk menguranginya bukan perkara mudah butuh spirit dan tekad solidartas sosial yang kuat. Tidak berlebihan jika mengatakan, penyebaran Covid-19 akan lebih cepat dihentikan jika kita memiliki solidaritas yang kuat untuk saling mendukung hidup kita bersama. Solidaritas yang kuat bukan hanya menyelamatkan tim medis tetapi juga menyelamatkan orang yang kita cintai bahkan negara kita sekaligus, oleh karena itu solidaritas sosial menjadi kunci.
Saat Emile Durkheim menyusun teori sosiologi, dia sadar betul betapa pentingnya peran solidaritas sosial untuk jalannya roda kehidupan masyarakat. Solidaritas sosial menjadi teori utama yang membesarkan namanya sebagai tokoh penting dalam perkembangan Sosiologi di tahun-tahun setelahnya. Hal menarik dari ulasan Durkheim dalam menjelaskan solidaritas sosial adalah teori bunuh diri (suicide), tentang apa yang menyebabkan orang bunuh diri? Pertanyaan ini penting karena teori umum pada saat itu meyakini bahwa orang bunuh diri disebabkan oleh masalah kejiwaan seperti prustrasi, stres, putus cinta dan berbagai gangguan kejiawaan lainnya. Lantas Durkheim bertanya kembali kalau bunuh diri disebabkan oleh gangguan kejiawaan, lalu mengapa orang gila di rumah sakit jiwa tidak melakukan bunuh diri?. Akhirnya disimpulkan bahwa bunuh diri adalah fenomena sosial bukan fenomena gangguan jiwa. Pada masyarakat yang solidaritas sosialnya rendah angka bunuh dirinya lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki solidaritas sosial tinggi pada bunuh diri jenis egoistik dan anomi. Ada juga bunuh diri karena solidaritasnya tinggi seperti harakiri di Jepang, harakiri disemangati oleh solidaritas sosial tinggi yaitu merasa bersalah untuk banyak orang (bunuh diri altruistik). kemudian, Durkheim mengklasifikasikan solidaritas sosial bertipe mekanik (desa) dan organik (kota).
Bagaimana solidaritas di era pandemi Covid-19? Seandainya Durkheim hidup saat ini, bisa jadi dia akan membuat konsep solidaritas sosial baru yaitu solidaritas sosial era pendemi Covid-19 atau solidaritas sosial untuk hidup (social solidarity for life). Solidaritas sosial era pandemi Covid-19 bisa diklasifikasikan ke dalam dua bentuk yaitu solidaritas sosial untuk kehidupan yang kuat dan solidaritas sosial untuk hidup yang lemah. Solidaritas dalam konteks ini tidak didefinisikan secara konvensional dan bersifat fisik, seperti kumpul dalam keramaian atau prinsip “makan gak makan asal kumpul” tidak digunakan. Solidaritas ini, lebih bersifat visi dan gagasan untuk kebersamaan, tidak perlu kumpul yang penting eksistensi hidup kita terjamin. Oleh karena itu secara Sosiologis, istilah physical distancing lebih diutamakan daripada social distancing, secara fisik boleh berjarak secara sosial harus terpaut, jauh di mata dekat di hati.
Solidaritas sosial untuk kehidupan yang kuat adalah semangat untuk hidup yang diakutalisasikan dalam kebersamaaan sebagai wujud jiwa kemanusiaan yaitu untuk hidup dan menghidupi. Solidaritas sosial jenis ini memiliki historisitas yang kuat, misalkan dalam ajaran Islam “barang siapa menyelamatkan satu nyawa manusia sama dengan menyemalatkan seluruh manusia”. Kehidupan itu sendiri tujuannya adalah untuk kehidupan orang lain juga, ada tanggungjawab sosial bagi setiap pengikut Islam yang jika tidak diikuti maka akan membuatnya kehilangan eksistensi sebagai individu maupun sosial. Di ajaran agama lain juga saya rasa memiliki spirit yang sama, begitupun dalam adat dan budaya kita yaitu untuk menumbuhkan dan melestarikan kehidupan.
Sejarah akan mencatat perjuangan para tim medis yang rela mengorbankan jiwa raganya demi menyelamatkan kehidupan dan itu adalah bentuk nyata social solidarity for life yang paling kuat. Selain tim medis, di level individu dan masyarakat bentuk solidaritas tersebut adalah berinisiatif dengan penuh kesadaran untuk tetap tinggal di rumah, menghindari kerumunan, menjaga pola hidup sehat, dan menaati peraturan lain. Di level pemerintah sifatnya makro yaitu membuat aturan yang tepat dan cepat, koneksi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah sehingga dapat dipastikan warganya selamat dari pendemi Covid-19. Fokusnya adalah semangat yang kuat untuk menyelamatkan hidup orang lain.
Berkebalikan dengan social solidarity for life yang kuat, setiap perilaku yang membuat orang kehilangan nyawa maka disebut sebagai penjahat, kriminal, teroris, diktator dan sebagainya. Perilakuknya berwujud, membunuh, melakukan teror, perang, rezim yang lalim dan lalai (tidak tepat dan cepat mengambil keputusan) dan sebagainya. Perilaku-perilaku tersebut dikecam di belahan dunia manapun yang menunjukkan bukan tabiat asli manusia. Hal ini yang disebut sebagai social solidarity for life yang lemah, lemahnya solidaritas yang mengakibatkan kematian orang lain. dalam Islam ada ajara barang siapa membunuh satu orang sama dengan membunuh seluruh manusia. Wujudnya adalah, mereka baik yang berstatus ODP (orang dalam pemantauan), PDP (pasien dalam pengawasan) yang diwajibkan mengisolasi diri berdasarkan standar protokol kesehatan, dan warga yang ngeyel, meremehkan serta tidak mengindahkan larangan pemerintah yang menyebabkan orang lain terancam kehilangan nyawa, perlu dicatat penularan Covid-19 lebih banyak melalui OTG (orang tanpa gejala) apalagi kalau punya gejala tetapi ditutupi tidak segera mengisolasi diri yang dangat mengancam tim medis. Di level pemerintah seperti lalai dan memanfaatkan jabatan untuk bisnis lain.
Antara social solidarity for life kuat dengan social solidarity for life lemah pembedanya ada pada niatan baik untuk menyelamatkan hidup bagi kita semua walaupun harus berkorban, baik sebagai tim medis, influencer, musisi, pemerintah, dan terlebih sebagai pasien suspeck Covid-19. Dia akan rela melakukan apapun demi memutus rantai Covid-19 yang bisa juga berarti memberikan harapan hidup bagi orang lain. sehingga pahlawan para era pandemic Covid-19 bukan hanya tim medis sebagai garda terdepan, tetapi juga pasien, dan semua adalah pahlawan dengan cara kita masing-masing. Golongan yang memiliki social solidarity for life yang kuat yang dibutuhkan saat ini. Apalagi Covid-19 belum ada vaksinnya, maka peran kita sangat menentukan kapan rantai penyebaran Covid-19 berakhir. Tenaga medis berusaha sekuat tenaga tetapi tidak dapat memutus rantai Covid-19. Yang bisa memutusnya adalah kita bersama, peran kita di luar tenaga medis jauh lebih utama karena bukan hanya menyelamtakan tim medis yang jumlahnya sangat sedikit, tetapi juga menyelamatkan keluarga dan orang yang kita cintai, lebih-lebih menyelamatkan bangsa dari keterpurukan ekonomi, politik, sosial, budaya dan pendidkan.
Azhari Evendi | Sosiolog
Prodi Sosiologi Universitas Mataram
Terbit di Lombok Post dan Tabula News